1405. Hikayat Cuk Opi

27-03-2024

Cuk Opi umurnya sekitar satu-setengah abad lebih, anak dari seorang bapak yang belum genap berumur 25 tahun saat itu, Karl Marx. Yang mungkin saja lahir ketika sedang semangat-semangatnya membaca pemikiran Feurbach. Cuk Opi nama panggilan saja, lengkapnya dalam bahasa Inggris: opium of the people. Dalam perjalanan panjangnya, kadang sering di-interpretasikan sebagai: opium for the people. Apalagi people yang dimaksud sudah berkembang sedemikian rupa seperti dibayangkan oleh Guy Debord di ‘ulang-tahun’ Cuk Opi ke-125, the Society of the Spectacle. Ketika olah konsumsi sudah berkembang menjadi konsumerisme, atau hiper-konsumerisme. Atau duabelas tahun sebelumnya -1955, majalah Life sudah mengintrodusir istilah ‘throw-away society’.

Karena bahasa adalah ‘rumah’ manusia, maka keahlian utama Cuk Opi memang dalam bahasa. Lebih dari satu-setengah abad lalu, Cuk Opi yang lahir di Eropa sono, memakai bahasa dalam term-term agama. Khususnya agama kristiani yang menjadi sasaran kritik dari Feurbach saat itu. Paling tidak dari judul bukunya. Bukan di ruang kosong sebenarnya dinamika di ‘sepanjang’ abad -19 itu. Buktinya? Lihat bagaimana Gereja Katolik akhirnya mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum di penghujung abad-19 itu. Melalui bahasa pula Rerum Novarum kemudian melahirkan fakta potensial untuk pergantian nama dari Cuk Opi, yang menjadi fakta faktual-nya bertahun setelah Perang Dunia II berakhir di Amerika Latin sono: Cuk Liber, atau kita kenal dengan Teologi Pembebasan itu. Dengan keahlian utamanya yang tidak berubah: bahasa. Bahasa yang dikembangkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari sebuah praksis.

Tetapi selama bahasa masih sebagai ‘rumah’ manusia, Cuk Opi masihlah akan terus beredar. Terlebih ketika ‘basis material’ –manusia, cara kerja otaknya semakin terkuak. Penelitian soal mirror neuron system telah memberikan kesempatan Cuk Opi semakin merajalela. Khalayak kebanyakan ingin korupsi hilang di atas republik? Maka cukup dikatakan bahwa para koruptor akan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Kata-kata verbal maupun melalui bahasa tubuh itu akan masuk dalam mirror neuron system, dan kemudian seakan-akan sudah menjadi tekad bersama. Maka tepuk tangan akan segera menggelora. Dan masih banyak contoh lainnya. Seakan tidak peduli lagi apakah kata-kata itu sudah dilepas dari ke-praksis-annya, atau tidak. Itulah wajah Cuk Opi saat ini, kata-kata yang sudah tidak ada lagi dalam bayang-bayang praksis-nya. Mengapa ini bisa sedemikian merebaknya? Apakah karena di belakangnya adalah: jalan gampang? Dan siapa yang tidak ingin menikmati ‘jalan gampang’? Menjadi manusia-manusia ‘epikurean’ sejati? Larut habis-habisan dalam konsumerisme total? Bahkan ketika dihadapkan pada kedaruratan iklim sekalipun. Ugal-ugalan yang se-abad lalu itu kemudian melahirkan dua Perang Dunia? Atau katakanlah ketika ‘jalan gampang’ itu mengambil bentuk ekstrem-nya. ‘Jalan gampang’ ketika dengan mudahnya rasio menyerah begitu saja untuk diperbudak oleh hasrat seperti dikatakan oleh David Hume di bagian akhir abad 18. *** (27-03-2024)

1406. Hasrat dan Pengadilan-nya

30-03-2024

Setiap makhluk hidup pastinya mempunyai hasrat, paling tidak hasrat untuk mempertahankan hidup. Jika memang demikian, mengapa hasrat pada manusia bisa menjadi begitu beragamnya? Apakah karena berkembangnya bahasa? Dalam bahasa kemudian bermacam ‘imajinasi’ itu tidak hanya disimpan, tetapi juga ditransfer dari generasi ke generasi. Maka berkembangnya-pun menjadi sangat dimungkinkan. Layaknya sebuah peristiwa yang diceritakan turun-temurun –melalui bahasa dalam bermacam bentuknya, ditambah-tambahi dan diberi nuansa baru, akhirnya menjadi mitos tertentu yang akan juga ‘mengatur’ adanya manusia. ‘Teori tentang manusia’ kemudian sedikit-demi-sedikit merubah keberadaan manusia itu sendiri. Kata Abraham J. Heschel (Who Is Man? 1965), teori tentang bintang tidak akan merubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia akan merubah keberadaannya. Dengan segala konsekuensinya. Dan itu sekali lagi, menjadi dimungkinkan karena adanya bahasa.

‘Teori tentang manusia’ adalah salah satu yang mengalami ‘pergeseran’ di era modernitas. Salah satu yang utama adalah hasrat kemudian diterima sebagai bagian dari apa adanya manusia. Hasrat manusia kemudian ‘dibersihkan’ dari segala kutuk-nya. Bahkan Baruch Spinoza (1632-1677) menegaskan bahwa hasrat merupakan hal esensial dari manusia itu sendiri. Atau Machiavelli (1469-1527) –salah satu pembuka jalan modernisme, secara telanjang menunjukkan bagaimana hasrat bisa menjadi begitu sentral-nya dalam bermacam peristiwa. Tetapi dengan segala hasrat-nya pula, manusia kemudian menjadi sosok perantau-petualang yang seakan tanpa lelah. Ketika ke-penasaran manusia akhirnya menerima bahwa bumi bukanlah pusat dari semesta –Galileo Galilei (1564-1642). Atau mengapa buah apel jatuh ke bawah –Isaac Newton (1643-1727). Atau diyakini seorang pembuat roti menjual roti dengan harga tertentu itu bukan karena kebaikan hati si-pembuat roti –Adam Smith (1723-1790). Bahkan ketika ‘tiba-tiba’ saja sebuah revolusi meletus, karena salah satunya semakin merebaknya: ensiklopedia. Atau juga apa yang kemudian bergulir ketika bahasa-bahasa lokal mendapat kesempatan dicetak dalam terjemahan Bible setelah mesin cetak Gutenberg mulai berjaya? ‘Komunitas terbayang’-pun semakin beragam.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah bagaimana peran penting bahasa dalam sepanjang perjalanan manusia. Maka tidak mengherankan pula jika Heidegger (1889-1976) kemudian mengatakan bahwa bahasa adalah juga ‘rumah’ bagi ‘manusia’. Memang tidak semua bisa ‘ditampung’ dalam bahasa –maka pula penyerapan istilah asing, atau lahirnya kata-kata baru dimungkinkan, untuk itu para ‘penembus batas’ bahasa-pun perannya sangat penting. Entah itu seniman, penyair, atau lainnya. Lihat misalnya, ketika kata menjadi terbatas untuk menggambarkan sesuatu: hipokognisi, seperti penelitian Robert Levy di sekitar 1970-an tentang tingginya angka bunuh diri di Tahiti saat itu, karena saat itu tidak ada kata-kata untuk menggambarkan perasaan tidak enak saat kehilangan sesuatu yang begitu berharga. Kata Wittgenstein, ‘whereof one cannot speak, thereof one must silent’ dan memang kemudian ada yang memilih ‘silent’ selamanya.

Tetapi fakta pula, melalui bahasa salah satu senjata paling kuno mengalami percepatan dalam perkembangannya: tipu-muslihat. Tipu-muslihat kemudian seakan menjadi ‘sahabat-karib’ dari beberapa hasrat, paling tidak seperti ditunjukkan oleh Machiavelli. Bahkan kemudian apa yang disebut sebagai ‘kejahatan hasrat’ seperti disebut oleh Albert Camus (1913-1960), itupun bisa hadir dalam segala tipu-muslihat-nya sebagai sebuah ‘kejahatan logika’. Tetapi dari sejarah pula kita bisa belajar bahwa hanya dengan melawan tipu-muslihat-lah manusia akan lebih mampu mengembangkan peradabannya. Atau jika tipu-muslihat itu adalah salah satu bentuk error, maka hanya dengan error elimination-lah pengetahuan akan semakin dimajukan. Dalam gambar besarnya, paling tidak terbuka untuk dibuktikan salah.

Dalam ranah politik, meng-eliminasi tipu-muslihat nampaknya tidak mungkin. Politik jelas akan lekat dengan bermacam tipu-muslihat. Masalahnya adalah dalam satu hidup bersama, jika semua ranah kemudian juga lekat dengan tipu-muslihat, disitulah sebenarnya kehancuran akan segera membayang, karena katakanlah politik kemudian berkembang seakan ‘tanpa lawan’. Kekuasaan kemudian berjalan dalam kebebasannya untuk melakukan bermacam ‘kejahatan hasrat’, dan terlebih bungkus canggihnya, ‘kejahatan logika’. Rusak-rusakan. Kasus pelanggaran etika (!) si-‘uncle-Us’ di MK sebagai salah satu contoh telanjang dengan segala konsekuensi rusak-rusakannya. ‘Pengadilan hasrat’ paling ‘primordial’-pun –hati nurani, sudah begitu ditumpulkan dengan dibiasakannya hadir-tampil di atas panggung sambil pecingas-pecingis tanpa beban para pelanggar etika itu, bahkan ketika sudah berulang-kali diputuskan pelanggaran etika-nya. Rusak-rusakan. Sungguh inilah wajah sebenarnya dari sebuah rejim bertahun terakhir, rejim rusak-rusakan. Rejim hasrat yang sudah tanpa beban lagi habis-habisan memperbudak rasio. Dan ketika berpikir itu akan mendahului bahasa, maka bahasa yang muncul-pun seakan sudah dikosongkan dari isinya. Asal mangap, asal njeplak, ngibul tiada habis-habisnya, seakan menjadi kaidah tersendiri dalam ranah politik sekarang ini. Sudah seperti candu-nya politik saja. Bagai kawanan binatang yang sedang sahut-sahutan melolong di sana-sini. Rejim seperti ini bukanlah rejim si-zoon-politikon, tetapi hanyalah sebatas zoon saja. *** (30-03-2024)

1407. Advocatus Diaboli Di Ranah Faustian Bargain

02-04-2024

Advocatus diaboli (devil’s advocate) dalam Gereja Katolik sudah dikenal paling tidak sejak Abad Pertengahan. Dia berperan memberikan ‘kontra-argumen’ dalam proses penetapan seseorang menjadi santo atau santa. Lawannya, si-advocatus dei. Atau dalam persiapan menghadapi pengadilan, dalil-dalil pengacara diuji-ulang oleh beberapa ‘devil’s advocate’. Tetapi bagaimana jika ‘berkeliaran’ di ranah kubangan ‘kejahatan hasrat’ dalam bayang-bayang ‘kejahatan logika’-nya, yang bahkan sudah sangat lekat dengan nuansa ‘faustian bargain’?

Faustian bargain memang berasal dari cerita drama Faust, si-dokter setengah baya sedang tergila-gila dengan seorang gadis muda cantik. Demi mendapatkan gadis pujaan, Faust bahkan mau mengambil kesepakatan dengan iblis –dan iblis akan membantunya untuk mendapatkan gadis pujaannya, dengan taruhan jiwa-nya. Bagi republik yang sudah menegaskan diri sebagai ‘negara berdasarkan hukum’, ketika ‘kejahatan logika’ menjadi bungkus rapat dari ‘kejahatan hasrat’ maka yang akan terjadi salah satunya adalah bagaimana ‘logika hukum’ akan dijungkir-balikkan. Akan dengan enteng-enteng saja ditabrak komplit dengan akrobat-argumentasinya. ‘Renteten peristiwa’ ini akan semakin membesar-menguat ketika ia melakukan ‘faustian bargain’. Republik semestinya dikelola dengan ‘bersepakat’ –atau tidak, dengan ‘publik’, dalam hal ini rakyat sebagai warga negara-nya. Dengan berbagai cara dan salurannya. Lha ini malah bersepakat bukan dengan warga negara-nya sendiri, tetapi justru dengan pihak lain di luar republik. Itulah faustian bargain-nya, dan tidak jauh dari cerita drama, jiwa-nya yang bahkan sudah tanpa beban lagi, dipertaruhkan. Maka tidak mengherankan ia akan memimpin seakan sudah ‘tanpa jiwa’ lagi.

Maka ia tidak peduli lagi soal ‘merawat jiwa’ republik. Bagi Patocka, merawat jiwa (care for the soul) akan selalu terkait dengan dimungkinkannya munculnya dissident. Ketika pemimpin memimpin dengan ‘tanpa jiwa’ bisa-bisa ia akan hilang kepekaannya tidak hanya soal etika dan kehormatan, tetapi juga terhadap nasib warganya yang terus saja dililit kemiskinan atau lingkungan yang terus saja mengalami kerusakan dahsyat, misalnya. Bayangkan jika tidak ada yang mengambil posisi dissident terhadap bermacam kebijakan negara yang justru terus saja membuat kemiskinan seakan ‘dipelihara’ itu. Atau hilang kepekaan terhadap setiap keringat menetes dari warga negara-nya saat membayar pajak dalam berbagai bentuknya. Itulah yang akan terjadi ketika ‘jiwa’ pemimpin sudah digadaikan dalam ‘faustian bargain’-nya. Kekuasaan seakan hadir tanpa ‘wajah’ manusianya lagi. Dan ketika ia bertemu dengan ‘wajah-wajah’ rakyat-nya, maka menjadi bukan lagi pertemuan ‘tatap-muka’ –face-to-face, dengan segala akibatnya, terutama melenyapnya hal etis. *** (02-04-2024)

1408. Dari 'Krisis Model' ke Dehumanisasi?

04-04-2024

Yang dimaksud dengan ‘model’ di sini adalah dalam konteks teori mimetik-nya atau teori segi tiga hasrat-nya Rene Girard. Dimana orang (S) akan menghasrati sesuatu (O) itu biasanya lebih karena meniru model (M) yang juga menghasrati O. Kadang-kadang kita menemukan M itu dalam sebuah cerita atau dongeng, dalam sebuah story-telling. Tetapi banyak juga dari ‘model-model’ kongkret dalam hidup bersama. Tentang bagaimana peran penting dari story-telling sudah ditegaskan oleh Alasdair McIntyre dalam After Virtue. Dari Pierre Bourdieu kita juga bisa belajar bahwa sebuah tindakan, bisa kita bayangkan juga termasuk tindakan meniru di atas, akan dipengaruhi juga oleh ‘kapital’ atau ‘modal’, ranah (field) dan habit. Dari Jung kita juga berkenalan dengan istilah archetype. Dari hal-hal di atas –otak-atik gathuk-nya, tulisan ini mendapatkan pintu masuknya.

Bagi Driyarkara pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi. Di ranah negara yang sekaligus juga pengumpul-pengelola pajak itu, para pembayar pajak dan warga negara pada umumnya pastilah mengharapkan hadirnya ‘model-model’ yang akan mendukung proses hominisasi dan humanisasi. Demikian juga di ranah masyarakat sipil, dan semestinyalah juga ranah pasar. Jika kita lihat lebih jauh, apa yang disebut oleh Leo Strauss sebagai krisis modernitas (What is Political Philosophy? 1950-an) baik itu gelombang pertama, kedua, maupun ketiga, itu akan terkait dengan tidak hanya de-humanisasi, bahkan juga de-hominisasi. Revolusi Industri ternyata juga mendorong lahirnya krisis modernitas gelombang pertama melalui apa yang kita kenal sebagai kapitalisme liberal itu. Komunitas, virtue, digeser secara sewenang-wenang oleh pasar. Kepentingan diri kemudian menjadi satu-satunya ‘virtue’ dalam hidup bersama. Hal yang tidak jauh berbeda dengan paradigma kaum neolib, yang mengusung bahwa satu-satunya yang rasional itu adalah kepentingan diri. Argumentasi kaum neolib ini sudah dipatahkan oleh Amartya Sen yang menandaskan bahwa komitmen itu juga rasional. Dari gerak-sejarah kita bisa belajar bahwa kegagalan dalam mengembangkan ‘komitmen’ ini krisis modernitas akan sangat mungkin mengambil bentuk lain, fasisme, seperti dibayangkan Leo Strauss tentang ‘krisis modernitas gelombang ketiga’.

Jika kita memakai istilah Fenomenologi, maka ‘moment’ komitmen ini bisa kita hayati sebagai yang dimulai dengan ‘langkah penundaan’. Apa yang ‘ditunda’ atau di-bracketing? Utamanya adalah ‘kepentingan diri’. ‘Kepentingan diri’ ditunda untuk kemudian melihat ‘kepentingan-yang-lebih-besar’ dari segala sisi-nya, aspek-nya, profil-nya. Langkah ini akan lebih ber-‘daya-desak’ ketika ‘kematian-republik’ menjadi horisonnya. Dan akan lebih ber-‘daya-guna’ jika kemudian masuk ke dalam dunia ‘inter-subyektifitas’, dikonfrontir dengan ‘imajinasi-imajinasi’ lain. Atau juga dicek-ricek lagi dengan situasi-situasi yang berkembang.

Dari hal-hal di atas maka semakin nampak apa yang dimaksud dengan ‘krisis model’, krisis akibat melenyaplah ‘model-yang-berkomitmen’. Dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), si-pemegang ‘kapital’ tertinggi atau tinggi bisa-bisa akan menjadi ‘model’ utama dalam ‘teori mimetik’-nya Rene Girard seperti sudah disinggung di awal tulisan. Ditambah dengan telanjang nampak bagaimana laku-laku mbèlgèdès –seperti misalnya: etika ndasmu itu, seakan sedang gencar ‘dibiasakan’. Apalagi jika diingat ada semacam ‘archetype’ seperti disinggung oleh Koentjaraningrat sekitar 50 tahun lalu, mentalitas yang (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Yang sebenarnya bisa dihayati sebagai tipisnya dalam olah komitmen. Atau dalam praktek kadang menampakkan diri sebagai: ‘jalan gampang’. ‘Story-telling’-nyapun lebih pada soal out-put, misal dongeng soal crazy-rich itu. Nggak peduli menjadi kaya karena ngemplang, cuci uang, atau korupsi, misalnya. ‘Tehnik politik’ kemudian dengan sewenang-wenang telah meminggirkan apa yang menjadi esensi dari politik itu. Ujungnya? De-humanisasi! Lihat saja ketika elit-elit politik banyak yang sudah berubah menampakkan diri lebih pada sisi ‘animalitas’-nya, berdendang-berjoget tanpa komitmen dan etika lagi. Ketika itu sampai pada batas-nya, maka tinggal selangkah lagi untuk masuk dalam dunia fasisme. Fasisme yang akan semakin sibuk dengan ‘ritual’ penyembelihan ‘kambing hitam’. *** (04-04-2024)

1409. Tidak Tahu Malu, Ke-normal-an Baru?

06-04-2024

Tahun 1999 –duapuluh lima tahun lalu, dalam jurnal Indonesia No. 67, Ben Anderson menulis dalam artikel Indonesian Nationalism Today and in the Future: “We are all aware of how far the process of "premanization" or "gangsterization" of Indonesian politics has gone. Political parties have their preman, as do businesses and government agencies. And the press has played its own part by more or less glorifying notorious preman such as Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, Hercules, and various others.” (hlm. 6) Di bagian akhir tulisan, Anderson menjelaskan mengapa pada bukunya yang terbit saat itu ia menulis sebuah slogan “Long Live Shame!” Ditulis oleh Anderson: “Because I think that no one can be a true nationalist who is incapable of feeling "ashamed" if his or her state/government commits crimes, including those against his or her fellow citizens.” (hlm. 10-11)

Bagi Anderson, dalam tulisan di atas, nasionalisme lebih merupakan ‘proyek masa kini dan masa depan’. Nasionalisme yang lebih ‘mengaduk-aduk’ masa lalu keberhasilannya tidak lebih terbukti dalam sejarah. Ada tiga hal terkait waktu: masa lalu, sekarang, dan masa depan, dan jika memakai istilah Max Lane, ‘bangsa yang belum selesai’ maka ‘proyek masa kini dan masa depan’ itu adalah juga problem kebangsaan. Bagaimana kita kemudian menempatkan masa lalu? Sebab bagaimanapun tanpa penghayatan akan masa lalu maka bisa-bisa masa kini dan masa depan akan nampak ‘lain’ juga. Sebagai pintu masuk terhadap problem ini maka kita bisa mengambil ‘slogan’ Ben Anderson seperti sudah disinggung di atas: “Long Live Shame!”

Dalam Fenomenologi, waktu yang ‘paling primordial’ disebut sebagai consciousness of internal time. Bayangkan kita menunggu sahabat sedang ditangani di UGD karena suatu hal, dan bandingkan ketika kita ngobrol asyik dengan sahabat. Sama-sama jika diukur dengan ‘waktu obyektif’ menghabiskan waktu 10 menit misalnya, saat di UGD akan terasa lebih lama dibanding dengan saat ngobrol. Lama 10 menit itu adalah ‘waktu obyektif’ yang semua saja bisa mengukurnya sampai bilangan detik misalnya, dan itu bersifat ‘publik’. Sedang merasa lebih lama atau waktu cepat berlalu saat ngobrol itu disebut ‘waktu subyektif’ atau ‘waktu internal’, dan bersifat ‘privat’, yang benar-benar dialaminya. Consciousness of internal time adalah soal ‘waktu subyektif’ atau ‘waktu internal’ dalam ‘alirannya’, dalam ‘flow’-nya. Katakanlah ada nada 1, 2, dan 3, dan saat ini kita mendengar nada 2, bukan berarti nada 1 terus menghilang, tetapi seakan mengalami ‘retensi’. Sedang nada 3 meski belum hadir di telinga, ia akan mengalami ‘protensi’ dan seakan sudah kita antisipasi kedatangannya.

Atau bukan nada, tetapi film. Masalahnya dalam hal menikmati film kita sudah dilatih berulang-dan-berulang melalui TV, jaringan internet, bioskop, dan persewaan film-film, gaya tayangannya adalah gaya Hollywood, misalnya. Bukan hanya soal alur ceritanya yang akan melibatkan soal ‘retensi’ dan ‘protensi’ seperti digambarkan di atas, tetapi keseluruhan tayangan itu akan terhayati dengan tidak lepas dari ‘campur tangan’ Hollywood. Atau juga Bollywood. Atau lainnya. ‘Tertib tatanan’ nonton film di bioskop itu ternyata tidak hanya sesuai aturan kita harus bayar dulu, duduk di kursi sesuai nomer kursi, dan punya hak untuk nonton film dengan durasi 1,5 jam sesuai dengan diperjanjikan pada awalnya.

Maka slogan Ben Anderson seperti dikutip di atas Long Live Shame! itu katakanlah sebenarnya adalah juga soal Hollywood, Bollywood, atau lainnya. Soal ‘budaya malu’ atau ‘shame culture’, ataukah ‘budaya rasa bersalah’ atau ‘guilt culture’? Ataukah jangan-jangan: ‘budaya takut’ atau ‘fear culture’ yang sedang ditumbuh-kembangkan? *** (06-04-2024)