1395. Membongkar Struktur Dalam

11-03-2024

Di penghujung abad-19, Ferdinand Tonnies memperkenalkan istilah gemeinschaft (community) dan gesellschaft (society). Gemeinschaft menggambarkan hidup bersama yang ikatan antar personalnya masih erat, atau digambarkan masih banyak di pedesaan. Sedangkan gesellschaft ikatan antar personalnya lebih rasional, dan gambaran yang mendekati seperti di kota-kota besar. Masih ada beberapa ciri lain, tetapi sebenarnya tidak ada yang murni gemeinschaft maupun gesellschaft. Bagaimana jika hidup bersama dominannya ada dalam bayang-bayang gemeinschaft? Yang juga menurut Max Weber ikatan-nya lebih berdasar ‘perasaan subyektif’?

Sekitar 70 tahun setelah Ferdinand Tonnies memperkenalkan istilah gemeinschaft dan gesellschaft, Hofstede melakukan penelitian di cabang-cabang IBM di seluruh dunia mengenai bagaimana persepsi terkait dengan tidak meratanya otoritas atau power. Hofstede kemudian mengintrodusir istilah power distance dan kemudian berkembang sebagai ‘power-distance index’. Power distance tinggi maka dalam komunitas itu cenderung nyaman-nyaman saja dengan tidak meratanya otoritas. Kuasa seakan dihayati sebagai yang ‘putih’, baik adanya. Power distance rendah maka komunitas itu cenderung rèsèh dan tidak sungkan untuk mempertanyakan otoritas di atasnya. Apakah dalam masyarakat gemeinschaft cenderung mempunyai power distance tinggi? Dan gesellschaft dengan power distance rendah?

Jika di kota-kota besar cenderung gesellschaft yang lebih rasional, mengapa Paulo Freire –di sekitar dekade 1960-an, justru menemukan bahwa di situ fanatisme mudah berkembang? Karena menurut Freire, kesadaran tidaklah beranjak masuk ke kesadaran kritis. Tetapi apakah berpikir rasional itu juga sama dengan berpikir kritis? Rasional dalam ranah ekonomi, tetapi apakah juga mampu berpikir kritis di luar ranah ekonomi? Apakah yang disebut ‘rasional’ dalam ranah ekonomi itu? Menurut kaum neolib sudah jelas: kepentingan diri-lah satu-satunya yang rasional. Meski sudah dibantah-telak oleh Amartya Sen, tetapi ‘bola salju’ dari argumentasi ini tetaplah dahsyat, salah satunya: privatisasi. Dan apakah ‘berpikir kritis’ itu?

Di sekitar dekade 1960-an Noam Chomsky (1928 -) mengintrodusir istilah deep structure dan surface structure dalam ranah studi bahasa. Hampir 30 tahun kemudian George Lakoff (1941 -) mengintrodusir hal yang mirip, deep frame dan surface frame. Di sekitar kelahiran Noam Chomsky, Edmund Husserl (1859-1938) mengajukan pemikirannya tentang waktu. Menurut Husserl ada tiga level tentang waktu, pertama adalah waktu obyektif. Waktu obyektif ini bersifat ‘publik’, katakanlah ketika si A berjanji akan datang dua jam lagi maka yang lainnya bisa mengukurnya juga jam berapa si A akan datang tepatnya. Kedua, waktu subyektif atau waktu internal. Waktu subyektif ini bersifat privat terkait dengan pengalaman-mental masing-masing. Jika menunggu di ruang UGD saat sahabat ditangani, meski diukur waktu obyektif sekitar 10 menit tapi bisa-bisa dirasakan begitu lama. Level ketiga, consciousness of internal time. Katakanlah ada nada 1, 2, dan 3. Sekarang ini kita mendengar nada 2, bukan berarti nada 1 terus menghilang, tetapi seakan mengalami ‘retensi’. Sedang nada 3 meski belum sampai ke telinga, seakan sudah kita ‘antisipasi’. Nada tiga bisa dikatakan mengalami ‘protensi’. Apakah bahasan Husserl tentang waktu ini akan lebih memperjelas ‘duduk perkara’ dari deep structure atau juga deep frame seperti disebut di atas?

Di sekitar tahun 1970-an, Robert Levy melakukan penelitian di Tahiti terkait tingginya insiden bunuh diri saat itu. Ternyata ketika orang-orang Tahiti kehilangan sesuatu yang berharga, ia tidak mampu menemukan kata-kata untuk mengekspresikan kesedihan yang mendalam itu. Itulah kemudian yang disebut Levy sebagai hipokognisi. Coba kita bayangkan, bagaimana jika hari-hari ini -50 tahun kemudian, diteliti ulang, apakah hipokognisi terkait dengan ekspresi kesedihan yang mendalam itu sudah terkikis? Jika sekarang sudah ‘ditemukan’ kata-kata tepat dalam mengekspresikan kesedihan atau ‘perasaan tidak enak’, ‘ditemukan’ melalui bermacam caranya, angka bunuh diri kemudian bisa menurun? ‘Ditemukan’ bisa saja dengan muncul kata baru seperti dalam bahasa Spanyol hadir kata baru: inmessionante, untuk menggambarkan ketrampilan-super dalam mengolah bola-kaki. ‘Ditemukan’ bisa saja dengan cara ‘ditemukan lagi’ karena kata-kata itu sebenarnya doeloe sekali pernah ada misalnya, karena toh bahkan peradaban-pun bisa melenyap.

Atau mungkinkah hipokognisi hadir karena ada kata yang perlahan mengalami kematiannya? Contoh, kata: kehormatan. Akankah generasi mendatang akan semakin tidak bisa mengekspresikan diri ketika ada perasaan untuk menjadi terhormat-bermartabat seakan mendesak keluar? Tentu bukan ‘gila hormat’ yang dimaksud di sini, tetapi lihat saja para ‘elit’ republik bertahun terakhir, bagaimana mereka telah membuat kata ‘kehormatan’ semakin sekarat saja. Mengapa seakan ini berjalan mulus-mulus saja? Mungkinkah karena komunitas republik termasuk dalam dinamika power distance tinggi? Kuasa yang dihayati ‘serba putih’, bahkan ketika mereka –yang sedang di panggung kuasa, sedang mabuk-merayakan pembunuhan ‘kehormatan’ sekalipun.

Ataukah karena intensi(onalitas) kesadaran khalayak seakan telah disesaki oleh deep structure tertentu sehingga ‘menjaga-merawat’ kehormatan seakan begitu mudah untuk dilupakan begitu saja? Apa yang menjadi ‘deep structure’ atau katakanlah ‘deep frame’ selama berpuluh tahun, bahkan katakanlah 50 tahun terakhir dengan tetap ada ‘rentang-jeda’ beberapa tahunnya? Nampaknya adalah soal ‘keranjingan kambing hitam’. Pada masanya misal, kata ‘oknum’ seakan bisa menjadi ‘penjaga’ ke-harmonisan hidup bersama. Atau ada nama Fadjroel, Ngabalin, dan terakhir lahirlah: Fahri Hamzah, misalnya. Yang akan selalu siap untuk disodorkan pada khalayak sebagai kambing hitam-nya. Kambing hitam ‘kecil-kecil’-an, tak jauh dari posisi ‘oknum’ sebenarnya. Sedangkan sebagai ‘mega-kambing-hitam’-nya, dan itu sebenarnya yang membangun deep structure –‘lagu’ dengan nada-nada sama hanya refrain-nya beda, kalau jaman now refrain-nya adalah radikal-radikul, kodran-kadrun, yoman-yaman itu.

Jika kita lihat kampanye yang dilakukan oleh tim AMIN yang lalu, sebenarnya nampak jelas sikap yang ditawarkan, bukan melawan soal ‘keranjingan kambing hitam’, tetapi dengan ‘mengubur’ hal jahat itu dengan menawarkan ‘pihak ketiga’ dalam ‘menjaga-keharmonisan’ hidup bersama. Yang ditawarkan adalah kehormatan dan sains. Dan jika kita bicara soal revolusi, itulah revolusi bagi republik saat ini. Bukan yang lain-lainnya. *** (11-03-2024)

1396. Dongeng

12-03-2024

Soré kuwi podho kumpul nang cakruké Nyah Ndut. Gayeng ngobrol ngalor-ngidul. Uju-ujug waé Totok mèlu nimbrung, padalo kuduné dè’é mèlu kursus ndongèng nang Balé Déso tekan sésuk. Kursusé rong dino, saiki karo sésuk. Sésuk jadwalé praktèk nang TK lan SD. Langsung waé Nyah Ndut takon nang Totok: “Lho … kursusé piyé kok ditinggal … hari pertama kuduné kan tekan jam songo?”

Totok jawab singkat: “Males Nyah …” Totok terus ngetoké buku crito-dongèng bahan kursus. Ono enem buku, kabèh karangane Lurahé Mukidi. “Isiné dongèng sing marahi males Nyah …”

Nyah Ndut terus njupuk buku-buku dongèng karangané Lurahé Mukidi, terus diwoco judulé, buku dongèng nomer siji: “Kancil nyolong timun …

Koh Bos njupuk siji terus diwoco judulé: “Cèlèng ngunthet …” Totok terus nyambung: “Lha kuwi masalahe Koh, buku dongèng karangané Lurahé Mukidi kuwi isiné nèk-ora nyolong yo ngunthet …”

Kang Yos: “Ngono yo Tok …”

Likwan: “Lha iki lucu Tok … Badak kayang …

Blas ora ono lucuné Lik. Asliné kuwi badak-é ora iso kayang. Kuwi ngibul waé.”

Ngapusi Tok …” Cuk Bowo negeské

Hè’èh Cuk. Dadi judulé kuduné: Badak ngibul, cuk …”

Opo: rai badak?!” Cak Babo nimbrung. Cak Babo terus mèlu njupuk buku, diwoco siji-siji judul buku dongèngé Lurahé Mukidi: “Iki judulé: Kethèk ngemplang …”

Totok: “Kuwi critané soal kethèk jajan ora mbayar Cak …”

Coro ngutil …. Boyo nggaglak …”

Wis ora usah diwoco manèh Cak … Isiné kuwi soal nyolong, ngunthet, ngemplang, ngutil, karo nggaglak …”

Lha kuwi soal ‘badak kayang’ …”

Yo sing kuwi soal ngibul-ngapusi Cak …”

Rusak-rusakan Tok?”

Hè’èh CakLha nèk sésuk sido praktèk nang TK-SD kan malah ngrusak Cak …”

“Ngono yo Tok …”

“Hè’èh Nyah…”

Mas Amir buka suara: “Asu kabèh Tok?!”

“Asu kabèh Mas …” *** (12-03-2024)

1397. Nasib Bangsa Tanpa Kehormatan

14-03-2024

Yang dimaksud kehormatan di sini adalah kehormatan sebagai keutamaan (virtue). Sebagai keutamaan maka ia akan lekat dalam bayang-bayang timbang menimbang. Maka kehormatan sebagai keutamaan pastilah bukan soal ‘gila hormat’. Keutamaan kehormatan akan beririsan lekat dengan keutamaan keberanian, bahkan bisa dihayati sebagai hal yang tak jauh berbeda. Sebagai keutamaan misalnya, apakah bom bunuh diri yang mengakibatkan sejumlah orang tak bersalah menjadi korban itu sebagai praktek keutamaan keberanian? Maka hal timbang-menimbang akan masuk dalam hal tersebut. Bagaimana jika dibandingkan tindakan kamikaze dari pilot pesawat tempur yang menabrakkan pesawatnya pada kapal perang musuh? Maka jika kemudian keutamaan prudence itu disebut sebagai ‘ibu’ dari segala keutamaan tidaklah salah-salah amat. Karena hal timbang-menimbang ini apa yang disebut sebagai keutamaan itu menjadi keutamaan karena kemudian tidak mudah lagi untuk ditarik-tarik sampai ke ujung-ujung ekstrem-nya.

Ada empat keutamaan ‘utama’, yaitu keutamaan prudence, keadilan, keberanian/kehormatan, self-control/tahu-batas. Disebut ‘utama’ karena ke-empat keutamaan itu bisa berfungsi sebagai ‘engsel’-nya keutamaan-keutamaan lainnya. Jika keutamaan prudence bisa disebut sebagai ‘ibu’ dari segala keutamaan, apakah kita bisa menghayati ada keutamaan yang bisa berfungsi juga sebagai ‘elan vital’-nya untuk mempraktekkan keutamaan-keutamaan lainnya? Bagaimana jika itu keutamaan keberanian? Keberanian yang mendapat bahan-bakar utamanya: kehormatan? Kehormatan yang akan memberikan daya ungkit-nya terhadap praktek keutamaan lainnya? Kehormatan yang akan terus mendukung ‘ibu’ dari keutamaan lainnya –prudence, untuk tiada lelah hadir dari bermacam situasinya?

Lepas dari bermacam pendapat soal mirror neuron system, apapun itu ia telah memberikan dorongan untuk melakukan tindakan tertentu, termasuk juga di ranah politik. Penelitian dari bermacam aspeknya terus berkembang. Ketika seseorang melihat tindakan orang lain maka tiba-tiba saja (sirkuit) mirror neuron system yang ada di otak seakan diaktifkan dan cenderung akan meniru tindakan yang lain itu. Atau paling tidak ber-empati. Tetapi ada pendapat juga bahwa itu tidak akan memberikan ‘stimulasi’ yang sama antara satu dengan lainnya. Contoh, seorang penari akan merasakan lain jika melihat orang lain sedang menari. Tidak akan sama jika yang melihat itu bukan seorang penari. Belum lagi jika faktor ‘intersubyektif’ kemudian dipertimbangkan juga.

Dari sudut Fenomenologi, terutama pendapat Husserl tentang internal time-consciousness –penghayatan akan waktu yang paling ‘primordial’, akan membantu memperjelas ‘duduk perkara’. Sekali lagi kita contohkan ada nada 1, 2, dan 3. Saat sekarang –now, kita mendengar nada 2, nada 1 itu tidak terus ‘melenyap’ tetapi seakan mengalami ‘retensi’. Sedang nada 3 yang belum kita dengar seakan mengalami ‘protensi’-nya, seakan sudah kita antisipasi. Jika seorang penari melihat penari lain di ‘nada 2’, maka ‘aktivasi’ mirror neuron system di otaknya seakan ada dalam ‘garis’-nya, maka (retensi) nada 1 yang ada di otaknya itu seakan memberikan ‘penguatan’ sehingga antisipasi untuk nada 3-pun bisa terjadi dengan tidak ‘susah payah’. Mengapa ini bisa menjadi penting?

Lihat misalnya peristiwa yang sungguh menjengkelkan, ‘upacara’ pemberian sangsi terhadap puluhan pegawai KPK yang terlibat dalam pungli penjara KPK beberapa waktu lalu. Sangsi terhadap pelanggaran etis, kemudian ramai-ramai minta maaf (saja). Dibuat seperti itu tentu ada maksudnya, nampaknya adalah melatih khalayak untuk menghayati etika sebagai ‘mainan’ saja. Peristiwa itu hanyalah satu dari sekian peristiwa bagaimana khalayak memang dibiasakan menghayati etika sebagai ‘mainan’ saja. Bukan satu hal serius-serius amat. Apa yang mau dicapai? Apakah jika nanti ada pelanggaran etika, atau berperilaku ugal-ugalan sewenang-wenang, ‘antisipasi’-nya khalayak akan ‘biasa-biasa’ saja? Khalayak menjadi tidak terusik? Dari bermacam panggung ‘mempermainkan etika’ ini, perlahan kita semakin merasakan bahwa hal itu beriringan lekat dengan penampakan laku-laku yang semakin menjauh dari laku terhormat. Kehormatan semakin tidak punya kesempatan ‘naik panggung’ dan justru ketidak-hormatan yang semakin menyesaki panggung. Dan dari pengalaman bertahun terakhir ini, ketika kehormatan semakin menipis, saat itu juga mempermainkan etika juga semakin tanpa beban lagi.

Sekitar 10 tahun lebih sebelum studi tentang mirror neuron system merangkak naik, Noam Chomsky sudah mengatakan bahwa ‘status-quo’ akan mengalami keretakan ketika yang satu sama lain saling tahu apa yang menjadi simpati masing-masing. Kita kemudian bisa membayangkan bahwa ketika ada yang begitu demen-nya mengeksploitasi mekanisme mirror neuron system demi melanggengkan status-quo yang ugal-ugalan dalam korupsi misalnya, tiba-tiba saja ‘intersubyektifitas’ membuat lubang besar-nya. ‘Makro-mimesis’ itu tiba-tiba saja mendapat perlawanan sengitnya dari ‘mikro-mimesis’ melalui jalan ‘intersubyektifitas’. Dan pada titik tertentu ketika sampai pada situasi ‘maju kena mundur kena’, maka pilihannya adalah represi habis-habisan. Fasis-lah. *** (14-03-2024)

1398. Saat Pancasila Ditinggalkan

15-03-2024

Jika Pancasila adalah juga nilai-nilai yang mestinya menjadi dasar pengambilan keputusan/kebijakan negara, secara telanjang kita bisa melihat bagaimana dalam praktek telah dipinggirkan, diganti dengan: kepentingan diri. Bahkan sebagai komunitas-bangsa yang menghidup-hidupi Pancasila-pun perlahan lebih diperlakukan sebagai: pasar. Hampir semua aspek dalam ranah negara dikelola semata sebagai bermacam transaksi saja. Bahkan suara dari pemilih yang terhormat-pun maunya dikelola dengan cara transaksi. Termasuk ‘elit-elit’-nya. Tidak lebih dari itu.

Jika mengikuti alur pemikiran Leo Strauss mengenai krisis modernitas gelombang pertama[1] maka situasi republik sekarang ini sedikit banyak bisa semakin terkuak. Leo Strauss mulai dengan eksplorasi Machiavelli sebagai salah satu pembuka jalan modernitas. Machiavelli yang sebenarnya bisa dijelaskan dengan lebih baik jika dibaca juga sebagai kritik terhadap kristianitas yang begitu dominannya sampai Abad Pertengahan itu. Machiavelli mengajak melihat manusia sebagai apa adanya saja. Dalam perjalanan panjangnya modernitas, peran agama semakin dijauhkan, atau jika memakai istilah Machiavelli, God kemudian diganti dengan fortune, misalnya. Manusia ‘ideal’ menurut gambaran agama diganti dengan manusia apa adanya. Virtue-pun kemudian semakin terpinggirkan diganti dengan ‘kepentingan diri’. Dan seperti sudah disinggung di atas, komunitas kemudian digeser oleh pasar. ‘Puncak’ dari perjalanan ini yang kemudian modernitas menemui krisisnya menurut Strauss adalah ‘kapitalisme liberal’. Ekonomisme –menurut Strauss, kemudian menjadi Machiavellianism come of age. Machiavelli yang menua, atau dalam kata-kata Herry B. Priyono, Machiavelli menumpuk harta. Ternyata yang ber-kepentingan-diri itu adalah manusia-manusia Machiavellian. Dan ‘puncak’ dari ‘Machiavellian moment’ itu kemudian mewujud pada bagaimana manusia menjadi begitu keranjingan dalam menguasai alam. Bahkan manusia-manusia lain-pun kemudian dihayati sebagai ‘benda-benda’ –reifikasi.

Republik sekarang ini bisa dibayangkan dengan hal-hal di atas, atau singkatnya, brutalnya si-Machiavelli saat menumpuk harta. Juga bagaimana alam dieksploitasi secara ugal-ugalan. Seakan alam republik ada dalam genggaman erat. Bahkan manusia yang hidup di dalamnya sering dipandang sekedar angka-angka statistik saja. Jika menghambat saat penumpukan harta sedang berlangsung, maka tanpa beban lagi untuk ditangkap dan digunduli, dibotaki dengan sewenang-wenang. Seperti binatang. Atau diperas melalui permainan harga, atau pajak-pajak yang terus meningkat. Perdebatan mengenai bagaimana nilai-nilai yang ada dalam Pancasila mewujud dalam kebijakan bertahun terakhir telah melenyap, atau lihat bagaimana etika justru dibuat main-main saja. Hukum juga tanpa beban dipermainkan. Dan semakin nampak seperti sudah disinggung di atas, itu semua diganti oleh kepentingan diri, self-interest. Atau kepentingan kelompok, apapun kelompok itu.

Dari Leo Strauss kita juga melihat bagaimana reaksi dari krisis modernitas gelombang pertama seperti di atas, dan itu berangkat dari Jean-Jacques Rousseau: kontrak sosial. ‘Kegilaan’ manusia dalam penguasaan alam yang menyelusup dalam kapitalisme liberal itu semestinya dapat dikendalikan lewat kontrak sosial. Itulah yang terjadi dalam (kampanye dialogis) Desak Anies itu, seakan sedang memanggil lagi kemampuan untuk bersepakat dalam sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial yang tidak melupakan nilai-nilai yang disepakati seperti ada dalam Pembukaan UUD 1945. Juga sejarah republik. *** (15-03-2024)

[1] Lihat, Leo Strauss, What is Political Philosophy, The University of Chicago Press, 1959

1399. Machiavelli dan Kita

16-03-2024

(1) Kata Machiavelli

Suatu perubahan selalu merupakan awal perubahan lainnya,”[1] demikian tandas Machiavelli di awal The Prince. Penggalan tulisan Machiavelli ini merupakan ‘kesimpulan’ dari pernyataan sebelumnya: “Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang.”[2] Awal tulisan Machiavelli ini sudah mulai dapat memberikan gambaran tepatnya kesimpulan M. Sastrapratedja & Frans. M. Parera terkait dengan inti permainan politik dalam negri yang ingin ditunjukkan Machiavelli: “Bahwa rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan sang penguasa secara menarik dan persuasif; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat, dan sangat mudah diyakinkan dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung.”[3]

Bagi Machiavelli, “manusia bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia di sekitarnya, sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya.”[4] Bermacam dan banyaknya ‘stok’ orang yang ‘siap ditipu’ ini, adalah berkah bagi para penganut Machiavelli. Temukan orang-orang itu, tipu, dan jika media sudah siap, blow-up! Dan berjalanlah ‘rantai produksi’ ilusi-ilusi yang akan membengkakkan jumlah orang-orang yang akan tertipu. Harapan mereka akan ada efek bola salju. Bukannya tanpa alasan para Machiavellis ini bisa begitu yakin, karena, kata Machiavelli: “Orang pada umumnya menilai sesuatu lebih berdasarkan apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka rasakan.”[5] Terlebih seperti ditegaskan ulang oleh Machiavelli: “Rakyat biasa selalu terkesan oleh penampilan dan hasil.”[6]

Jika pemilihan digelar setiap lima tahunan, dan setiap kampanye selalu akan memberikan janji, bagaimana Machiavelli melihat soal janji-janji kampanye ini? Machiavelli berpendapat: “Para pangeran yang paling banyak keberhasilannya ialah mereka yang tidak ambil pusing untuk menepati janji, tetapi tahu bagaimana memanipulasi pikiran orang dengan cerdik. Pada akhirnya, mereka mengungguli orang-orang yang mencoba bertindak jujur.”[7] Dan waktu lima tahun bukanlah waktu yang singkat, sehingga ‘semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang’ seperti kata Machiavelli di awal tulisan ini. “Sebab-sebab perubahan’ di sini termasuk juga mengapa orang memilihnya (lima tahun lalu) berdasarkan janji-janji yang ditebar lima tahun lalu. Bahkan jauh sebelum merebaknya ‘logika waktu pendek’ akibat cepatnya arus informasi era digital ini, Machiavelli sudah yakin akan hal tersebut. Demikian juga pengikut-pengikutnya sekarang ini, yang seakan sedang menari sambil ‘pecingas-pecingis’ dan ‘jegègèsan’ tepat di depan mata kita. *** (06-8-2018)

[1] Machiavelli, Sang Penguasa, Terj. M. Sastrapratedja & Frans. M. Parera, Gramedia, 1987, hlm. 6

[2] Ibid

[3] Sastrapratedja, Frans. M. Parera, Kata Pengantar, Suatu Alternatif Kaidah Etika Politik,  dalam Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. xxix

[4] Ibid, hlm. 72

[5] Ibid, hlm. 73

[6] Ibid, hlm. 74

[7] Chris Lowney, Heroic Leadership, hlm. 29

(2) Semburan Janji Di Mata Machiavelli

Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang, karena suatu perubahan selalu merupakan awal perubahan lainnya,”[1] demikian Machiavelli di awal The Prince. Dalam ranah demokrasi, perubahan-perubahan itu bisa berarti ‘terpicu’ oleh pemilihan umum. Karena janji-janji yang ‘disemburkan’ oleh para kontestan, rakyat, si-demos, akan melihat adanya potensi perubahan meski masih samar-samar. Janji kampanye dari peserta pemilihan bagi si-pemilih adalah sebuah ‘peta perubahan’ yang dibayangkan ketika itu akan dilaksanakan oleh si-terpilih nantinya.

Tetapi berdasarkan kutipan Machiavelli di atas, maka bisa juga ada yang berpikir begitu mbélgèdès-nya. Semburlah janji-janji sekuat mungkin, semburlah janji-janji se-indah mungkin, setinggi-tingginya, sebab toh 5 tahun yang akan datang rakyat sudah akan lupa. Jangan sungkan, dan jangan pernah ragu memompa janji-janji setinggi langit sebab ini adalah juga hal merebut hegemonia.[2] Karena begitu hegemonia direbut, dalam hal ini melalui jalan demokrasi-pemilihan, maka masalah selanjutnya adalah masalah arche, yang berarti kontrol dan selalu bersifat hirarkis. Begitulah keyakinan vulgar kaum mbélgèdès itu.

Tentu Machiavelli tidak sedang melamun ketika menulis hal di atas. Pada beberapa bagian tulisan Machiavelli nampak ‘konsisten’ dengan pendapat tersebut. Tetapi bagaimana-pun juga tulisan Machiavelli itu ditulis ketika belum genap satu abad jika dihitung dari ditemukan mecin cetak Gutenberg. Dan juga sekitar 150 tahun sebelum koran (newspaper) pertamakali terbit, 300 tahun sebelum ditemukan radio, 400 tahun sebelum ditemukan televisi, dan hampir 500 tahun sebelum digital-internet merebak seperti sekarang ini. Baik mesin cetak, radio, televisi jika dilihat sebagai modus komunikasi, mempunyai karakteristik yang sama, yaitu man-to-mass. Atau kalau kita lihat dari sudut pandang lain, kompatibilitasnya dengan nuansa Revolusi Industri adalah sangat lekat. Yang namanya Revolusi Industri itu selalu terkait dengan produksi massal. Maka memang jika menguasai misalnya baik media cetak, radio dan televisi, apa yang ditulis oleh Machiavelli hampir 500 tahun lalu, tetaplah akan dapat mempunyai energi yang (sangat) kuat. Energi untuk ‘memaksakan’ pelupaan akan janji-janji kampanye 5 tahun lalu. Pelupaan akan ‘sebab-sebab’ perubahan 5 tahun lalu.

Tetapi jaman now, jaman ketika era digital-internet begitu merebaknya –era merebaknya modus komunikasi mass-to-mass, tantangan besar hadir tepat di depan salah satu diktum Machiavelli tersebut. Jejak-jejak digital begitu mudahnya untuk ‘dipanggil’ lagi dalam memperkuat memori. Segmen rakyat yang menjadi ‘tidak mudah lagi dikadalin’ menjadi semakin besar. Segmen rakyat yang akan merasa terhinakan dengan tipu-tipu vulgar akan semakin tebal dan membesar. Mau dialihkan pada soal semburan hoax-hoéx, semburan dusta, atau semacamnya, maka dengan lincahnya banyak khalayak langsung menunjuk semburan janji 5 tahun lalu. Bahkan dalam rentang waktu yang lebih lama lagi.

Situasi seperti ini bukannya tidak disadari oleh kaum vulgar mbélgèdès itu. Mereka paham, meski mereka tetap yakin akan selalu adanya ‘some of the people all of time’[3] yang selalu siap untuk ditipu. Maka mereka membuka lagi ‘diktum’ Machiavelli yang lain: “Rakyat pada dasarnya mudah berubah sikap; amat mudah memberi anjuran mengenai sesuatu hal, tetapi sulit untuk mengajak mereka tetap berpegang pada anjuran tersebut.”[4] Jadi, meski kaum vulgar yang mbélgèdès itu sadar bahwa semakin besar segmen rakyat yang merasa terhina akan semburan janji-janji yang diingkari itu, pada saat-saat akhir menjelang coblosan, godaan akan uang dan bingkisan masih sangat diharap akan melepas berbagai anjuran terkait terbohonginya akan janji-janji 5 tahun lalu itu.

Bagi oposisi, masalah siapa sebaiknya ia berkonsultasi bisa menjadi problematik tersendiri. Tapi, secara tidak langsung Machiavelli memberikan ‘saran’: konsultasilah dengan rakyat. Jadikan rakyat menjadi konsultan. Mengapa? Kata Machiavelli: “rakyat lebih jujur dalam cita-cita mereka daripada para bangsawan, karena para bangsawan ingin menindas rakyat, sedangkan rakyat menginginkan untuk menghindari penindasan.”[5]

Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah, masih menurut Machiavelli: “Pada umumnya kerajaan-kerajaan ini mengalami krisis, kalau kekuasaannya yang terbatas berubah menjadi kekuasaan yang mutlak.”[6]  Maka ketika ‘kekuasaan yang sebenarnya terbatas itu’ secara perlahan dan sporadis, dan semakin nampak nyata bermetamorfosis menjadi ‘kekuasaan yang mutlak’ maka bagi ‘kerajaan’ itu mungkin fase krisis, tetapi bagi rejim mungkin itu berarti juga sekarat. Dan sekarat-nya rejim, ia bisa ‘kroncalan’ tidak karu-karuan, bisa nyampluk kanan-nyampluk kiri. Hati-hati dengan spiral ke-sekarat-an ini.

Bagi Machiavelli, sebuah rejim bisa berujung pada ke-kesekarat-an salah satunya karena ketika “penduduk biasa menjadi penguasa hanya karena nasib mujur tanpa mengalami kesulitan apapun untuk naik jenjang tersebut, besar sekali kesulitan yang dihadapinya dalam mempertahankan kekuasaan. Kesulitan tidak mereka temui sewaktu diangkat naik, tetapi kesulitan baru muncul sewaktu dia sudah memegang kekuasaan. Orang-orang semacam ini menerima wilayah kekuasaan karena uang atau kebaikan hati seseorang yang memberikan suatu wilayah kekuasaan kepadanya.” [7] ‘Penduduk biasa’ yang dimaksud Machiavelli dalam konteks jamannya kemungkinan besar adalah yang bukan bangsawan. Mungkin pada jaman sekarang, demokrasi sekarang ini, itu mungkin berarti sebagai orang yang kemampuannya pas-pas-an saja. Tidak ada hubungannya dengan trah atau darah biru.  Lebih lanjut Machiavelli mengatakan: “Orang-orang semacam ini sangat tergantung pada mereka yang telah membantunya menjadi penguasa, dan pada nasib mujur. Kedua hal ini sangat tidak dapat merupakan pegangan kuat dan sifatnya goyah.”[8] Dan ketika benar-benar goyah dan nampak gejala ke-sekarat-annya serta kroncalan karena menolak ‘soft-landing’, sekali lagi: hati-hati. Terlebih bagi republik yang kita cintai ini, jangan sampai retak kebablasan hanya karena sosok boneka beserta segala resiko yang dibawanya seperti digambarkan oleh Machiavelli di atas. *** (06-02-2019)

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 6

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[3] Abraham Lincoln: “You can fool all the people some of time, and some of the people all of time, but you cannot fool all the people all the time

[4] Niccolo Machiavelli, ... hlm. 24

[5] Ibid, hlm. 40

[6] Ibid, hlm. 42

[7] Ibid, hlm. 25

[8] Ibid, hlm. 26

(3) Machiavelli dan Bentengnya

Dalam Bagian XX Sang Penguasa (The Prince), yaitu tentang: Apakah Benteng Perlindungan dan Banyak Hal yang Kerap Kali Dibangun Raja Berguna atau Merugikan, Machiavelli menuliskan: “Raja yang merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing, sebaiknya membangun benteng. Tetapi raja yang merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri tidak usah memusingkan soal benteng.”[1] Bagi jaman now, benteng karena ‘merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri’ itu bukanlah kawat berduri mengelilingi istana negara, misalnya. Tetapi lebih seringnya adalah Undang-undang yang di dalamnya bersesakan pasal-pasal karet yang dapat digunakan kapan saja. Dan tidak hanya ada bersesakan, tetapi lebih penting lagi adalah memang terbukti dalam perjalanannya pasal-pasal itu sering digunakan sebagai benteng ketika berhadapan dengan rakyat sendiri. Tidak hanya undang-undang, tetapi juga pelaksanaan aturan yang kadang terlihat jelas seperti dipaksakan atau sebuah kesalahan kecil yang dicari-cari. Intinya, hukum kemudian menjadi benteng kekuasaan.

Menilik pendapat Machiavelli di atas ada hal lain yang tidak kalah pentingnya dari misalnya mulur-mungkret-nya hukum, yaitu terkait dengan, mengutip Machiavelli: ‘serangan bangsa/musuh asing’. Tidak hanya satu soal benteng saja, tetapi hal di atas itu berkelindan satu dengan lain, antara benteng karena takut terhadap rakyat sendiri dan serangan bangsa/musuh asing. Maka ketika sebuah rejim menjadi terlalu sibuk membangun benteng dalam menghadapi rakyat sendiri, pertanyaannya adalah: apakah dia tidak takut terhadap serangan bangsa/musuh asing?

Pendapat Richard Robinson salah satu Indonesianis terkemuka asal Australia kiranya bisa membantu bahasan kali ini. Robinson dalam Kuliah Umumnya hampir tiga tahun lalu di Melbourne mengatakan: "Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat."[2] Memproyeksikan kekuatan ke panggung internasional itu tidak hanya akan menemukan peluang saja, tetapi juga ancaman. Dari proyeksi ancaman inilah sebenarnya langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penghayatan akan perlu atau tidaknya sebuah benteng dalam menghadapi rakyat seperti dikatakan Machiavelli di atas.

Atau bisa dikatakan, sebuah rejim ketika ‘merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri’ maka dia akan merasa tidak perlu disibukkan membangun benteng menghadapi rakyatnya sendiri. Dan dia perlahan akan sadar bahwa ‘benteng yang terbaik yang perlu dibangun ialah menghindari jangan sampai dibenci oleh rakyat’,[3] demikian kata Machiavelli juga. Inilah mungkin salah satu rute dari pernyataan Richard Robinson di atas terkait dengan sebuah negara bisa menjadi negara yang kuat karena ‘negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional’. Rute ketika ‘seorang raja’ berusaha keras untuk ‘jangan sampai dibenci oleh rakyat’.

Machiavelli sendiri dengan pemahaman mendalam akan ‘manusia apa adanya’ telah memberikan saran-saran dalam Sang Penguasa bagaimana si-raja agar ‘tidak dibenci oleh rakyat’. Dari mulai tipu-tipu sampai dengan ‘penumpasan prototipe penantang’ buatan sendiri. Dari memberikan penghargaan pada rakyat melalui tangannya sendiri sampai dengan menjaga tangan selalu bersih dan memerintahkan orang lain melakukan pekerjaan kotor untuknya. Dan banyak lagi.

Dari bermacam pengalaman sejarah berbagai bangsa, kita bisa melihat bahwa apa yang banyak ditunjukkan Machiavelli berdasarkan ‘manusia apa adanya’ itu dan terkait erat dengan ‘aksi-reaksi’-nya, kita bisa melihat sebuah gerak maju. Mungkin tidak gerak lurus, tetapi di banyak bangsa, maju lima langkah, mungkin kemudian mundur satu-dua langkah, maju lagi enam langkah mungkin mundur lagi dua-tiga langkah. Mungkin misalnya, upaya supaya tidak dibenci itu dulu dilakukan dengan tipu-tipu, tetapi sekarang tidak lagi hanya dengan berdendang tipu terus tidak dibenci rakyat. Apalagi jika tipu-tipu itu telah terbongkar begitu telaknya.[4] Horison yang semakin maju itu semestinya juga akan memajukan penghayatan hidup bersama, termasuk juga bagaimana mengelola kekuasaan dan lebih lagi: reaksi-responnya rakyat terhadap praktek kekuasaan. Atau dalam kata-kata Machiavelli: “Karena itu, saya mengambil kesimpulan bahwa dewi fortuna atau nasib mujur dapat berubah-rubah dan orang yang tetap memegang teguh cara-cara mereka, akan berhasil selama cara-cara ini sesuai dengan situasi, tetapi kalau cara-cara itu berlawanan [dengan situasi yang berkembang], maka mereka akan mengalami kegagalan.” [5]

Pertanyaan di republik jaman now, jika kita misalnya merasakan si-penguasa menjadi lebih sibuk membangun benteng ketika berhadapan dengan rakyat, apakah ancaman akan ‘serangan bangsa/musuh asing’ itu tidak ada dalam benaknya? Ataukah sebenarnya justru malah dia di-back up oleh asing? Atau malah bahkan sebenarnya ‘boneka’-nya asing? Inilah sebenarnya kelindan antara ‘perlunya benteng dalam menghadapi rakyat sendiri’ dan ‘ancaman serangan bangsa/musuh asing’ seperti dipaparkan oleh Machiavelli sebaiknya kita pahami tidak secara terpisah. Sama halnya seperti disinyalir oleh Richard Robinson terkait dengan ‘proyeksi kekuatan negara ke panggung internasional’ dan ‘kuatnya sebuah negara’. *** (13-03-2019)

[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit Pustaka Gramedia, 1987, hlm. 90

[2] http://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091/profesor.australia.indonesia.tak.punya.kapasitas.untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia

[3] Niccolo machiavelli, hlm. 90

[4] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/218-Syarat-Menipu-Menurut-Machiavelli/

[5] Niccolo Machiavelli, Sang penguasa, hlm. 104