1235. Aletheia

05-09-2023

Aletheia sering dihayati sebagai sebuah ‘kebenaran’, tetapi nampaknya lebih baik kita menghayati dari sisi ‘dinamis’-nya: ‘ketersingkapan’. Bahwa dengan bermacam ‘tirai’ atau ‘lapisan’ yang satu-demi-satu tersingkap maka kemudian ‘kebenaran’ semakin menampakkan diri itu mungkin saja. Tetapi sebaiknya pula kita tidak memaksakan diri memakai kata ‘kebenaran’, tetapi kita menghayati aletheia sebagai ‘sesuatu’ akan lebih menampakkan apa sebenarnya ia itu. Siapa sangka Einstein mampu ‘melengkapi-kebenaran’ Newton terkait teori gravitasinya?

Tetapi sesuatu menampakkan dirinya pastilah tidak serta merta semua hal ‘dinampakkan’, kadang hanya satu sisi yang ‘sampai’ pada kita. Di lain pihak jika kesadaran kita adalah berarti ‘sadar akan sesuatu’, padahal sesuatu itu seperti disebut di atas, tidak pernah menampakkan diri secara komplit. Sebuah kubus misalnya, ia ‘memberikan dirinya’ tidak komplit semua sisinya, mungkin hanya satu-dua-tiga sisinya, dan lebih nampak sebagai ‘jajaran-genjang’. Tetapi dengan cepat kita bisa menghayatinya sebagai sebuah kubus, dan benar itu memang sebuah kubus. Atau pada suatu saat kita melihat ada dinding dengan atap di atasnya, pintu, jendela, dan segera saja kita bisa menghayati sebagai rumah. Kita kemudian mendekat, ternyata itu adalah tampilan depan dari sebuah ‘rumah’ sebagai properti pembuatan film misalnya. Bagian belakangnya ternyata kosong melompong, karena memang hanya diperlukan bagian depannya saja. Maka memang pada satu saat kita perlu ‘menunda’ dulu apa-apa yang ngendon di kepala kita, ketika menemui suatu peristiwa atau apalah yang sedang menjadi per-hati-an kita. Kita dekati jika mungkin, kita lihat sisi-sisi lainnya, kita lihat pula bermacam aspeknya, katakanlah peristiwa atau sesuatu itu kita dekati sebagai ‘pemula’. Ternyata setelah itu kita lakukan kita kemudian menghayati bahwa itu adalah sebuah kubus misalnya. Itupun sebaiknya kita lakukan cek-recek lagi, misal kita kembali lagi dengan meteran, atau kita komunikasikan penghayatan kita bahwa itu adalah sebuah kubus dengan orang lain yang juga melihat ‘kubus’ itu.

Tetapi memang sebagian besar hidup kita jalani seakan sebagai taken for granted saja. Ya itu rumah, ya itu kubus, atau ketika di persimpangan lampu merah menyala, kita dengan serta merta berhenti tanpa mempertanyakan lebih dahulu. Akan merepotkan sekali jika hidup mesti dijalani dengan selalu ‘menunda’ lebih dahulu apa-apa yang ngendon di kepala kita dan kita mulai dulu dengan melihat bermacam sisi, aspek, profilnya, misalnya. Sebagai pemula. Atau kalau kita meminjam istilah van Peursen dalam Strategi Kebudayaan memang sebagian besar hidup kita adalah di tahap ‘mitis’ dalam arti hidup-privat-nya dengan tidak banyak mempertanyakan lagi apa-apa yang sudah ngendong dalam kepala kita. Tetapi pada saat tertentu kita perlu juga mencari apa esensi –tahap ontologis, dari sesuatu itu, dan dengan itu pula kemudian kita ‘operasional’-kan, tahap fungsionil.

Ketika hidup bersama itu semakin terdiri dari bermacam ranah, maka semakin dirasakan pula bagaimana dalam masing-masing ranah itu menuntut adanya sekelompok orang yang mau bersusah-payah menjalani tidak dengan, katakanlah, modus taken for granted saja. Kadang itu disebut sebagai kaum profesional, atau pemimpin, penyair, atau apalah mau disebut. Mungkin yang dimaksud Toynbee sebagai si-minoritas kreatif salah satu kakinya ada dalam bayangan ini.

Ketika seorang sakit dengan bermacam gejala dan tandanya, dan ia kemudian menemui seorang dokter maka si-dokter akan membiarkan dulu si-pasien atau pengantarnya menceritakan apa-apa yang dirasakan, dalam suatu anamnesis. Dokter juga akan tanya dari aspek riwayat penyakit dahulu, atau penyakit keluarga. Juga riwayat alergi, atau lainnya. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan jika perlu pemeriksaan penunjang lainnya. Maka imajinasi sebuah diagnosis-pun akan muncul, itupun masih menyisakan diferensial diagnosis-nya. Kemungkinan lain. Bahkan kalau perlu opini-kedua dari sejawat, dengan keahlian tertentu misalnya. Bisa saja ketika sakit, panas misalnya, ia –pasien, minum parasetamol dulu –self medicine, sebelum memutuskan ke dokter. Dan sembuh, seperti biasanya. Tetapi pada satu titik yang ‘biasanya’ dapat di atasi dengan ini dan itu ternyata belum sembuh, barulah ia ke dokter. Dalam hidup bersama, kaum profesional dalam hal ini dokter misalnya, akan sangat dibutuhkan. Dan semua itu pada dasarnya adalah soal kepercayaan, trust. Demikian juga soal politik, terlebih politik di ranah negara. Kegagalan dalam menangkap ‘esensi’ bisa-bisa jatuh pada kungkungan ‘mitis-magis’, atau juga ‘operasionalisme’. Atau juga ‘eskapisme’, meski ia tahu apa yang menjadi ‘esensi’ itu. Tidak mudah memang untuk berada di posisi ‘kapital tinggi/tertinggi’ dalam sebuah ranah. Jika mudah-mudah saja, semua bisa jadi dokter, misalnya. *** (05-09-2023)

1236. Tanpa Teori Perubahan, Tidak Akan Ada Gerakan Perubahan

06-09-2023

Mungkin Hayek dkk, saat bertemu di lembah pegunungan Mont Pelerin Swiss di sekitar tahun 1950-an meyakini juga bahwa ‘tanpa teori kontra-revolusioner maka tidak akan ada gerakan kontra-revolusioner’, plesetan dari ucapan Lenin. Dan lihat bagaimana Thatcher di sekitar tahun 1970, di depan rapat Partai Konservatif sambil membanting buku Hayek ke atas meja, ia berseru: “Ini yang kita percayai!” Thatcher tidak omong doang, ketika ia naik ke puncak kekuasaan sebagai PM Inggris di akhir tahun 1970-an, program neoliberalisme-pun dijalankan dengan konsekuen. Bermacam teori ketika sudah masuk dalam kesadaran itu kemudian akan bertemu sosok manusia kongkret, yang dalam praktek semestinya –menurut si Bung, dalam perjuangannya tidak akan lepas dari romantika, dinamika, dan dialektika. Berhenti pada romantika saja maka ‘teori’ hanya akan menjadi lamunan tanpa ujung. Hancur dalam dinamika maka memang nasib sebuah gerakan tanpa greget terutama dalam bersiasat dan daya tahannya. Tanpa dialektika, teori dan gerakan akan kehilangan pijakannya dalam realitas.

Tetapi apakah harus menunggu sampai 20 tahun sehingga ‘teori’ yang sudah dibuku-tebalkan itu baru bisa dibanting sepertihalnya dilakukan oleh Thatcher? Dan kemudian baru di-‘operasional’-kan? Tidak juga, bagaimana-pun apa yang dimulai Thatcher itu tidaklah ada di ruang kosong, terlebih ketika terasa ada ‘stagnasi’ di sekitar akhir dekade 1960-an itu, akibat ‘beban’ welfare state yang harus ditanggung modal terutama, big-business. ‘Narasi besar’ itu ternyata butuh juga ‘narasi-narasi kecil’ dari seorang ‘intelektual-organik’. Dan republik di abad-21, narasi besarnya adalah, semestinya: reformasi. Reformasi yang bertahun terakhir ini tidak hanya ‘stagnan’ tetapi mengalami kemunduran dahsyat, mestinya ini membuat kata ‘perubahan’ menemukan momentumnya. ‘Perubahan’ telah menemukan jiwa ‘romantika’-nya dalam situasi yang sudah begitu banyak nuansa negatif-nya ini, terlalu banyak laku ugal-ugalan, di mata semangat reformasi.

Dalam jalan revolusi pastilah akan ada kontra-revolusi-nya, demikian juga jalan perubahan, pasti akan menemui kontra-perubahan-nya. Akan ada juga pernak-perniknya. Ada saatnya dipukul, dan mengalami kemunduran. Ada saatnya tersungkur dan berupaya bangkit lagi. Ada saatnya para ‘infiltrat’ bernyanyi-berperilaku semau-maunya, merusak dari dalam. Maka inilah bagian dari dinamika-nya perubahan. Dinamika-nya gerakan perubahan. Dan romantika akan berperan penting dalam menjaga semangat perjuangan. Untuk mampu ‘tahan banting’. Tetapi untuk supaya tidak jatuh pada sebuah ke-naif-an, perlulah dialektika. Terutama dalam menghayati ‘perubahan’ dan ‘kontra-perubahan’-nya. Jika kita memakai semangat reformasi maka akan segera nampak bahwa terlalu meluas dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme-lah yang membuat ‘bangunan atas’ seakan bergeser pada nuansa feodalisme. Karena seakan hal itu sudah menjadi ‘hak-khusus’ kaum ‘bangsawan’-nya. ‘Pembagian’ lahan korupsi seakan sudah berlangsung dengan telanjangnya. Dalam situasi seperti ini yang paling dirugikan adalah kelas pekerja keras-nya, apapun pekerjaannya, atau potensi untuk bekerjanya. Bermacam potensi-pun seakan juga terhambat perkembangannya, terutama potensi republik dalam mendorong berkembangnya hidup bersama.

Tetapi apakah ‘kontra-perubahan’ seperti tergambarkan di atas dapat dihayati pada dirinya saja, ataukah kita juga mesti berpikir bahwa sebenarnya itu tidak dapat dijelaskan tanpa adanya ‘sesuatu yang lebih besar’? Dalam, katakanlah, ‘tertib-tatanan global’ yang sedang penuh dinamika geopolitiknya? Meminjam istilah Cardoso di dekade 1970-an, apakah pakta dominasi primer-nya itu akan santai-santai saja ketika pakta dominasi sekunder di suatu wilayah mempunyai potensi besar untuk pergeseran? Atau perubahan? Sehingga yang sedang ‘mengelola’ pakta dominasi sekunder itu akan melakukan apa saja –at all cost, demi tetap memperoleh dukungan all-out dari si-pemegang pakta dominasi primer di nun jauh sana? Tak jauh dari tulisan Thucydides lebih dari 2000 tahun lalu, yang kuat akan mendikte yang lemah. Atau lihat baru-baru ini dalam rentang waktu tak jauh-jauh amat, ada dua kudeta militer di dua negara Afrika sana. Akankah ini akan dijelaskan hanya soal dua negara masing-masing? Jaman bergerak, maka perubahan-pun akan menemui jalan berbatunya. Akankah revolusi pada akhirnya menjadi pilihan juga? Atau katakanlah jalan ‘patahan sejarah’ yang akan ditulis? *** (06-09-2023)

1237. Mengelola Harapan

07-09-2023

Bagaimana jika harapan dan ketakutan dimainken secara simultan, katakanlah oleh sebuah rejim? Ngibul yang tidak berkesudahan dan secara simultan ditakut-takuti oleh UU ITE, misalnya. Maka salah satu kemungkinan adalah: tidak berbuat apa-apa. Karena bagaimanapun juga sebuah harapan bisa berperan sebagai ‘bingkai’, dan kecenderungan ‘bingkai’ adalah membatasi ‘pilihan’, termasuk juga di sini pilihan ‘tindakan’. Bagaimana ketika adanya ‘pembatasan’ dalam dirinya masih juga ditakut-takuti dari luar? Maka bisa-bisa masuk seperti disebut di atas, tidak berbuat apa-apa dan bahkan bisa jatuh pada eskapisme. Contoh tak jauh-jauh amat, tebaran rasa takut di jaman old dimainken bersamaan dengan harapan ‘tinggal-landas’ misalnya. Kalau harapan itu ada dalam ideologi, kata si-Bung, akan jadi ideologi kenang-kenangan saja. Maka apa yang pernah diyakini pernah diungkap oleh Abraham Lincoln bisa jadi bahan pertimbangan: “The best way to predict the future is to create it.”

Tetapi apakah sebuah prediksi akan sama dengan harapan? Atau mengapa harapan sering begitu mudah kita rengkuh? Akankah ini karena ada ‘lubang besar’ dalam kesadaran kita, seperti ditunjukkan oleh Hermann Broch terkait adanya kesadaran temaram, twilight state, itu? Sehingga ada yang menyebut bahwa harapan adalah pulau kepastian di tegah-tengah ombak besar samudera. Di tengah-tengah remang-remang-nya kesadaran yang dihantam oleh bermacam peristiwa atau gelombang dahsyat lainnya. Ataukah justru –di sisi lainnya, karena adanya kesadaran remang-remang di masing-masing orang sehingga kita ‘terpaksa’ membutuhkan satu dengan yang lain? Termasuk lahirnya sebuah harapan, akankah hanya akan hadir ketika manusia berinteraksi dengan lainnya? Melalui bahasa? Maka memang ketika tipu muslihat adalah salah satu senjata paling kuno, harapan bisa-bisa juga menjadi salah satu ‘mainan’-nya.

Tetapi kata Eric Fromm dalam The Revolution of Hope (1968), “Hope is a decisive element in any attempt to bring about social change in the direction of greater aliveness, awareness, and reason.” Maka nampaknya apa yang kita sebut sebagai harapan itu mempunyai bermacam sisi wajahnya. Atau bermacam penghayatannya. Kembali jika memakai pemikiran van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, terbit pertama kali dalam bahasa Belanda sekitar 1970-an, kita bisa bertanya bagaimana harapan itu dihayati, apakah dalam modus/tahap mitis, ontologis, atau fungsionil-nya. Mengelola harapan seperti dalam judul kemudian berarti pertama-tama memang perlu disadari bahwa dalam harapan akan ditemui ketiga tahapan, bahkan secara bersamaan dalam diri kita, misalnya. Yang kita kelola sebenarnya lebih pada soal ‘bablasan’-nya, jangan sampai kita terjebak dalam modus ‘magis’-nya harapan, atau justru masuk dalam eskapisme, dan jangan sampai ‘bablas’ masuk operasionalisme. Sebenarnya tak jauh-jauh amat dari apa yang pernah dikatakan oleh si-Bung soal romantika dinamika, dan dialektika. Itulah sebenarnya ‘fitrah’ manusia. Maka kata kuncinya sebenarnya adalah praksis, tindakan yang tidak lepas dari aksi-refleksi-nya. Dalam ungkapan yang lebih ‘mudah’, lebih ‘pragmatis’, seperti dikatakan oleh Lincoln di atas, “The best way to predict the future is to create it.” Sama-sama soal ‘masa depan’, mengapa tidak? *** (07-09-2023)

1238. Membuka Pintu Etika

08-09-2023

Bukan pintu surga atau pintu neraka yang ditutup, tetapi pintu etika. Etika yang dalam praktek seringnya bukan lagi soal baik-buruk, tetapi menurut Sidney Hook, masalah etis yang sesungguhnya dirumuskan sebagai pertentangan antara baik dan baik, antara benar dan benar, serta antara yang baik dan yang benar.[1] Misal, ketika dokter harus dihadapkan pada pilihan, menyelamatkan ibu atau anak yang sedang dikandungnya? Masalah investasi atau program pengendalian banjir dan hak-hak penduduk setempat, misalnya juga. Maka masalah etis akan sangat erat dengan dua hal, timbang-tinimbang, akal kecerdasan, dan keberanian atau kesempatan untuk bicara. Tentu akal kecerdasan akan tidak lepas dari keinginan, tetapi jelas juga akal kecerdasan punya kemampuan meloloskan diri dari ‘perbudakan’ keinginan, atau hasrat. Bagaimana jika ada kepentingan sungguh berbeda karena perbedaan ‘kelas’ misalnya. Karena akal kecerdasan bukanlah budak keinginan atau hasrat, maka menurut Sidney Hook masih sangat terbuka soal etika hadir, karena sering juga kesadaran tidak hanya ditentukan oleh ‘kesadaran kelas’-nya, atau situasi ‘basis’-nya, contohnya Marx dan sahabatnya, Engels sendiri.

Dalam ranah kekuasaan, lebih ada dimana kemungkinan ‘buka-tutup’ etika itu? Jika Machiavelli pernah mengingatkan bahwa soal merebut kuasa dan menggunakan kuasa itu bisa berbeda, maka bisa dilihat bahwa ‘buka-tutup’ pintu etika itu lebih ada di saat menggunakan kekuasaan. Atau tak jauh-jauh amat seperti ditegaskan oleh si-Bung terkait dengan taktik, strategi, dan azas. Beberapa peristiwa masa lalu, beberapa waktu lalu, pintu etika ditutup rapat-rapat atas nama ‘kedaruratan’ misalnya. Saat menggunakan kekuasaan. Dan bermacam contoh lain yang mengindikasikan memang pintu etika telah ditutup rapat-rapat. Dari bermacam penampakan akan tidak salah-salah amat jika kita menghayati hal tersebut, pintu etika yang sedang ditutup. Akibatnya? Bukan soal akhlak lagi, tetapi lihat misalnya apa-apa yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau hari-hari ini misalnya. Atau di Wadas Jawa Tengah itu. Atau juga Tragedi Kunjuruhan. Dan banyak lagi.

Maka soal ‘membuka pintu etika’ di ranah kekuasaan adalah lebih pada peristiwa bagaimana kekuasaan digunakan. Soal bagaimana ‘taat-azas’ saat menggunakan kuasa di tangan. Tidak mudah memang apalagi setelah ‘hegemoni’ ada di tangan maka segeralah itu ‘berubah’ menjadi ‘arche’, yang pada dirinya akan lekat dengan masalah ‘hirarki’. ‘Kesibukan’ merawat hirarki bisa-bisa menampakkan diri dalam laku yang sungguh mbèlgèdès, misal nampak telanjang dan ndèk-ndèk-an itu, lempar-lempar bingkisan pada khalayak dari jendela mobil yang terbuka dan berjalan pelan, sambil pecingas-pecingis. Mengapa hal ini bisa terjadi, semau-maunya dalam banyak hal-nya? Salah satunya adalah ‘yang kalah’ tidak ‘taat azas’ juga, mengambil jalan sebagai ‘oposisi’. Kontra-hasrat –katakanlah juga agere contra, tidak berjalan sebagaimana mestinya, jadilah ‘akal-kecerdasan’ yang sebenarnya juga pas-pas-an itu akhirnya menjadi ‘budak-keinginan’, ‘budak-hasrat’. Ketika akal kecerdasan jatuh sebagai budak hasrat, maka memang akhirnya ‘kelas-penguasa’ itu akan menjadi sewenang-wenang. Etika tidak akan pernah hadir lagi di situ. Pintu etika sudah ditutup rapat-rapat. Dikunci erat-erat, dan bahkan sangat mungkin kuncinya sedang dijaga oleh penthungan-gas air-mata, dan senapan teracung. *** (08-09-2023)

[1] Harsja W. Bachtiar (ed.), Percakapan Dengan Sidney Hook, Penerbit Djambatan, 1986 (cet-3), hlm. 9

1239. Politik Yang Mendorong Kelahiran Kembali

09-09-2023

Setelah bingkai ‘karya’ pada jaman old, bertahun terakhir politik terbingkai dengan ‘kerja’, katakanlah dari ‘golongan karya’ ke ‘golongan kerja’. Politik bergeser dari tangan si-homo faber, paling tidak di 10 tahun pertama jaman old, kemudian ke tangan si-animal laborans. Politik dimana ia menjadi tempat munculnya sebuah karya oleh kaum teknokrat misalnya, bergeser terutama lebih sebagai tempat cari makan dan rejeki. Ataukah di jaman old-old, politik justru sudah berkembang dalam bingkai ‘tindakan’? Dari pendapat Hannah Arendt yang membedakan kegiatan mendasar manusia dalam vita activa dan vita contemplativa maka akan lebih mungkin ditemukan penghayatan jernih. Vita activa sendiri terdiri dari tiga macam kegiatan, kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). Sedangkan vita contemplativa adalah aktivitas mental yang berupa berpikir, berkehendak, dan mempertimbangkan.

Bagaimanapun manusia perlu makan, minum, atau juga papan, sandang dan rekreasi, dan itu bisa dipenuhi dengan ia bekerja. Ia bekerja karena tubuh biologisnya memang memerlukan itu. Karenanya ia akan bersifat lebih privat karena menyangkut tubuh-tubuhnya sendiri, bukan soal di ruang publik. Konsekuensinya memang ia kemudian menjadi a-politis. Dalam karya akan lekat dengan soal sarana dan tujuan. Karya berada dalam dunia benda sehingga aktivitas karya diikat oleh akhir yang hendak dituju.[1] Jaman old, politik kemudian dijadikan alat, sarana, sehingga penyederhanaan partai-partai politik misalnya, adalah salah satu alat-sarana saja untuk mencapai tujuan tertentu. Tak jauh dari jaman now, bahkan masih ditambahkan suntikan semangat ‘animal laborans’-nya.

Sebagai zoon politikon, yang hidup dalam suatu polis, politik semestinya dihayati sebagai ‘tindakan’, action. Hannah Arendt memang tidak seperti Machiavelli dan ‘kubu’-nya, politik yang keluar dari ‘kegelapan’, tetapi politik adalah tidak lepas dari bicara di ruang publik tentang kepentingan bersama. Manusia lahir itu tidaklah bebas sama sekali, tetapi ia lahir untuk kebebasan. Karenanya adanya keberagaman, pluralitas adalah tak terelakkan. Dan dengan komunikasi dalam suasana pengakuan akan keberagaman, dan tentu juga sekaligus kesetaraan, itulah ‘tindakan politik’ diharapkan akan mendorong ‘kelahiran-kelahiran baru’. Atau bisa dikatakan juga, dalam ‘tindakan politik’ seperti digambarkan di atas, horison terus saja dimungkinkan untuk dimajukan. Apakah ini bisa dimungkinkan dalam kenyataannya?

Mengapa tidak? Dari bermacam pemaparan atau ‘berbagi pengalaman’ apa yang dilakukan oleh Anies Baswedan saat jadi Gubernur DKI membuktikan bahwa ‘jalan Arendt’ itu sangatlah mungkin dilakukan. Bagaimana ijin mendirikan rumah ibadah yang tahunan berhenti jalan di tempat ternyata bisa diselesaikan dengan dialog-panjang. Atau soal sodetan Kali Ciliwung dalam proyek pengendalian banjir. Butuh waktu lama, tetapi akhirnya dengan dialog-panjang bisa diselesaikan. Atau juga soal Kampung Akuarium itu. Dialog panjang yang akan juga masuk ke dalam bermacam ingatan, memori terhadap tempat itu misalnya, dengan kemudian ada janji-janji yang ternyata memang dipenuhi. Tetapi bagaimana dengan ranah yang lebih besar, ranah negara misalnya, akankah itu akan berhasil juga? Tetapi mengapa kita tidak mau ‘dilahirkan kembali’ dengan sesuatu yang horison-nya jelas lebih maju? Tentu kita ingin seperti itu, masalahnya yang dihadapi adalah ‘pakem-pakem’ dari ‘dunia-gelap-politik’ yang banyak dimainken di lapangan oleh orang-orang ‘putus-urat’, terutama urat malu dan urat berpikirnya. Maka memang tidak mudah, dan tidak akan ada yang mengatakan itu mudah-mudah saja. Tidak ada jalan kecuali mendorong perubahan, sehingga ‘kelahiran-kelahiran baru’ itupun akan lebih mempunyai potensi untuk mewujud. *** (09-09-2023)

[1] P. Bambang Irawan, Peran Ingatan Dalam Rehabilitasi Tindakan Politis, Jurnal Filsafat Driyarkara, Th.XXVI, No.1, Sept. 2002, hlm. 135