1430. Hush Mining

09-05-2024

Hari-hari ini di Amerika Serikat sono sedang berlangsung pengadilan terhadap Trump, si-mantan presiden. Kasusnya, hush money, uang tutup mulut yang dibayarkan oleh Trump pada aktris film porno Stormy Daniels. Kejadiannya[1] sendiri adalah di tahun 2006, masalahnya sepuluh tahun kemudian -2016, Trump mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dari Partai Republik. Supaya tidak membuat heboh dalam proses pencalonannya itu maka keluarlah hush money itu, uang tutup mulut. Besarnya? $ 130.000,- Seratus tiga-puluh ribu US dollar! Jika 1 dollar AS itu Rp 15.000, total sekitar 2 milyar rupiah, cuk. Mungkin Trump terbayang-bayang atas pemberitaan skandal antara Gary Hart dan Donna Rice –seorang model, di sekitar tahun 1987-an, yang akhirnya membuat Gary Hart mundur dari pencalonan di Partai Demokrat. Bagi Trump, $ 130.000,- tentu bukan uang jumlah besar. Dan isunya memang bukan berapa besar uang tutup mulut itu, tetapi adalah soal menghalang-halangi publik untuk mendapatkan informasi terkait dengan masalah ‘kepublikan’, masalah siapa yang akan mengurus ‘hal publik’ itu. Jika Trump tidak mencalonkan diri sebagai presiden, tentu mau koprol atau kayang yang silahkan saja. (Apalagi) jika yang diberikan adalah hush mining, diberikannya ijin-ijin untuk penggalian bermacam tambang misalnya, untuk supaya ‘tutup mulut’ terhadap bermacam penyimpangan –tidak banyak protes sana-sini atau bernyanyi di media, tetaplah itu akan menjadi ‘masalah publik’ yang harus diselesaikan di pengadilan. Lalu bagaimana akhir cerita dari kasus hush money-nya Trump ini? *** (09-05-2024)

[1] Terkait ‘perkontholan-pertempikan’, cuk

1431. Patriotisme dalam Oikos-nomos

11-05-2024

Judul memang sengaja memakai asal-usul kata ekonomi: oikos-nomos, yang nampaknya akan lebih mudah ‘masuknya’ bicara soal patriotisme. Selain itu juga untuk menegaskan ‘nuansa’ atau pembedaan terhadap oikos-nomos (ekonomi) dan chrematistics, yang paling tidak sudah terbedakan sejak Aristoteles. Oikos berarti keluarga, sehingga ekonomi dalam konteks oikos-nomos adalah soal bagaimana keluarga, atau polis, atau hidup bersama dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan chrematistics adalah soal memperoleh uang, soal mencari rejeki. Titik. Maka ‘variabel’ dalam chrematistics-pun bisa dikatakan lebih ‘sederhana’ dibandingkan dengan hal oikos-nomos. Jika Carl Schmitt menyinggung bahwa yang membuat ekonomi itu ada karena adanya pembedaan antara untung dan rugi, masalahnya bisa sangat berbeda ketika ia masuk dalam penghayatan oikos-nomos atau jika itu ada di ‘ranah’ chrematistics. Maka tidak mengherankan ketika dalam proses amandeman UUD 1945 lebih dari 20 tahun lalu terjadi perdebatan keras antara kubu ‘efisiensi’ dan kubu ‘berkeadilan’. SMI yang sekarang menjadi Menteri Keuangan, saat itu adalah tim-yunior dari kubu ‘efisiensi’. Kubu ‘berkeadilan’ diujung-tombaki oleh Mubyarto saat itu. Di belakang kukuhnya kubu ‘efisiensi’ sebenarnya ada asumsi bahwa pasar bebas akan membawa logika efisiensi-nya sendiri. Di kubu ‘berkeadilan’ akan selalu berjaga-jaga, benarkah pasar bebas akan mampu mewujudkan keadilan dalam hidup bersama? Singkat kata akhirnya ada kompromi, dan muncullah dalam pasal ekonomi itu istilah: ‘efisiensi berkeadilan’. Di AS sono, dan juga di banyak negara dengan ‘sistem’ dua partai (dominan atau koalisi), satu kubu misalnya Republik, ia akan lebih condong ke ‘efisiensi’, sedang Partai Demokrat akan lebih condong ke ‘berkeadilan’. Artinya bahwa soal ‘efisiensi’ dan ‘berkeadilan’ ini bahkan dalam praktek sering ‘diselesaikan’ melalui jalur ‘politik’. Mungkinkah karena ada ‘sifat dasar’ dari kapitalisme yang salah satunya selalu lekat dengan krisis? Kalau tidak ada ‘gas-rem’-nya maka krisisnya akan menjadi begitu dalam? Ataukah memang soal ‘pertumbuhan’ dan ‘pemerataan’ itu tidak bisa diletakkan begitu saja di atas pundak ‘maksud baik’?

Atau kita coba diproblematisir melalui pendapat David Harvey soal accumulation by dispossession dengan fitur-fitur utamanya: privatisasi, finansialisasi, manipulasi dan manajemen krisis, serta state redistributions, bukankah dua hal pertama akan lekat dengan soal ‘efisiensi’ sedang sisanya soal ‘keadilan’? Di belakang privatisasi dalam konteks Konsensus Washington ada asumsi bahwa orang itu tidak akan mau mengelola sesuatu dengan sebaik-baiknya jika bukan miliknya. Konsisten dengan pandangan dasar kaum neolib bahwa satu-satunya yang rasional itu adalah: kepentingan diri. Dan mengelola sesuatu dengan sebaik-baiknya pertama-tama adalah soal efisiensi. Dari sini sebenarnya sudah mulai nampak singgungannya tentang patriotisme seperti ada dalam judul. Ternyata menurut Amartya Sen, kepentingan diri itu bukanlah satu-satunya hal rasional, tetapi komitmen-pun adalah juga rasional. Komitmen dalam ranah bernegara-berbangsa, salah satunya bisa disebut sebagai: patriotisme. Naif? Tidak-lah. Ada satu buku yang menyoroti soal ‘profesionalisme-patriotik’ di China sana (Patriotic Professionalism in Urban China, Lisa M. Hoffman, Temple University Press, 2010).

Tetapi bicara soal patriotisme ini memang juga harus ekstra-hati-hati. Tak jauh dari segala –isme, ataupun juga segala hasrat, bablasan-nya, episode manic-nya, justru bisa, katakanlah, ‘kontra-produktif’. Di tangan seorang pemimpin megalomania, patriotisme bisa-bisa ikut-ikutan masuk dalam episode manic-nya. Apalagi seperti dikatakan Herman Broch bahwa manusia itu akan selalu menggendong kesadaran temaram-nya, twilight state. Bahkan nasib buruk akan selalu membayang jika sudah dibuat ‘mania’ tetapi ternyata itu tidak lebih hanyalah sebuah tirai asap saja. Sudah ‘gila’ kejatuhan tangga lagi. Nasib. *** (11-05-2024)

1432. Perang Sumber Daya

17-05-2024

Perang sumber daya atau resources war sering dihayati sebagai perebutan sumber daya, terutama sumber daya alam untuk mendukung industri. Sering pula kemudian dikaitkan dengan apa yang dikenal sebagai ‘kutukan sumber daya’ atau resources curse. Dari pernak-pernik ‘pergeseran-besar’, katakanlah dari ‘pax-britannica’ ke ‘pax-americana’ di awal-awal abad-20, sedikit banyak kita bisa menghayati ‘perang sumber daya’ secara agak berbeda. Dalam konteks dua Perang Dunia di bagian pertama abad 20 itu ternyata membuat bermacam sumber daya si-‘pax-britannica’ menjadi porak poranda. Entah disengaja atau tidak, seakan Amerika mendapat kesempatan luas untuk menegaskan diri menjadi super-power baru, jadilah: ‘pax-americana’. Tentu banyak faktor lain yang ikut terlibat, tetapi apapun itu soal porak-porandanya bermacam sumber daya itu jelas pula ikut memberikan ‘kata putus’ terhadap pergeseran-besar. Dalam bahasa Lenin, ada berkembang apa yang disebutnya sebagai ‘rantai terlemah’. Atau lihat misalnya pengalaman Jepang (ikut) kalah dalam Perang Dunia II, antisipasinya adalah berangkat dari sumber daya, seperti sering diceriterakan soal Kaisar Jepang saat itu bertanya soal berapa guru yang masih tersisa? Jadi ‘perang sumber daya’ ini dapat dihayati sebagai hal ‘sentrifugal’, terjerembab dalam perang yang akhirnya berakibat tersedotnya bermacam sumber daya keluar, atau sebagai hal ‘sentripetal’, bermacam sumber daya itu (terpaksa-dipaksa) gagal dikelola demi kemajuan bersama komunitasnya. Atau kemajuan industrinya. Atau lainnya.

Maka ketika bermacam sumber daya itu dikelola secara ugal-ugalan, itu bisa saja dihayati bukan hanya sekedar ‘kebodohan’ pengelolaan, tetapi juga sebagai sudah masuk dalam perangkap ‘perang sumber daya’. Seperti taktik dalam tinju di atas ring, lawan dibuat kelelahan, kepayahan di ronde-ronde awal, dan di-KO di ronde 8-10 misalnya. Atau ronde ke-12. Pendidikan yang tersirat dalam pernyataan Kaisar Jepang seperti sudah disinggung di atas setelah porak-poranda pasca Perang Dunia II, kemudian dikelola secara serampangan di sebuah republik. Tidak seperti Jepang saat itu yang (kebangkitan) melalui pendidikan itu telah memberikan daya ungkit untuk (kebangkitan) hal lainnya. Atau jika memakai kacamata Rene Girard dalam teori segitiga hasrat-nya, (kebangkitan) pendidikan itu kemudian seakan menjadi model (bagi ranah-ranah lainnya) dalam menghasrati kebangkitan hidup bersama setelah porak-poranda akibat kalah perang.

Atau terkait dua perang yang sedang berkecamuk dan terus masuk dalam pemberitaan, perang Ukraina-Russia dan Israel-Hamas, ada yang sedang ‘dikuras’ sumber daya-nya? Atau dibuat porak-poranda, bahkan setelah hantaman pandemi? Ada yang sedang ‘diarahkan’ untuk masuk dalam ‘rantai terlemah’-nya? Atau soal ‘perangkap utang’ atau debt trap-itu, bukankah itu juga soal bagaimana sumber daya yang dipunyai menjadi tidak efektif lagi untuk dikelola demi kemajuan hidup bersama? Termasuk di sini soal pendidikan misalnya, yang sedikit menampakkan diri terkait semakin mahalnya pendidikan. Atau juga misalnya BUMN-BUMN yang ‘sengaja’ dibuat bangkrut melalui bermacam rutenya, bukankah pengambil-alihan (kuasa) akhirnya menjadi kemungkinan besar-nya? Melalui jalan ‘privatisasi’ misalnya. Atau lainnya. *** (17-05-2024)

1433. Hal Ketiga

19-05-2024

Adanya ‘ruang antara’ –in between, membuat ‘hal ketiga’ menjadi mungkin. Bahkan dengan adanya horison-pun ‘hal ketiga’ menjadi mungkin juga. Diantara saya dan batas horison saya, ada bermacam ‘hal ketiga’, bermacam posibilitas. Platon menggambarkan persahabatan sejati juga melibatkan ‘pihak ketiga’. Istilah ‘third argument’ kita kenal juga, demikian juga dengan adanya ‘sindrom orang ketiga’ yang sering dikaitkan dengan upaya ‘mempertahankan hidup’. Tak jauh dari logika dalam film Sucker Punch (2011). Atau antara anak dan ibunya, ketika anaknya kesandung batu, batu kemudian dipukul-pukul untuk disalahkan. Antara saya dan apa yang saya hasrati, sering juga melibatkan ‘pihak ketiga’, menurut Rene Girard dalam teori segitiga hasrat atau teori mimesis-nya, disebut: model. Bahkan juga tentang hadirnya si-‘kambing hitam’ itu. Atau dalam perang hidup-mati antara dua pesawat tempur, mereka selalu dibekali dengan ‘sasaran palsu’. Juga sering kita membuat sebuah ‘jembatan keledai’ untuk meringankan beban pikiran. Atau dalam hal olah-kualitas, kita mengenal adanya ‘patok duga’. Maka bisa dikatakan bahwa dalam menjalani hidupnya manusia itu akan selalu lekat dengan bayang-bayang ‘hal ketiga’ ini. Demikian juga dalam politik, ranah olah kuasa negara.

Maka tidak mengherankan pula kita mengenal juga ‘ide-ologi’. Atau seperti dikatakan oleh Abraham J. Heschel, teori tentang bintang tidak akan merubah esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia akan merubah keberadaannya. Apakah hal-hal di atas dimungkinkan berkembang karena menurut Hermann Broch, kita selalu akan menggendong ‘kesadaran temaram’, twilight state? Tetapi bagaimana dengan ‘proses sublimasi’ menurut Freud itu? ‘Hal ketiga’ kemudian hadir setelah ada proses hal timbang-menimbang, dan menurut Freud itu juga menunjukkan tingkat kedewasaan tertentu. Atau lihat bagaimana sebuah pengalaman mengerikan melahirkan sebuah karya seperti ditulis oleh Viktor Fankl, tentang manusia yang akan selalu mencari makna. Atau kita ‘kontraskan’ hal tersebut dengan apa yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai ‘banality of evil’ itu. Evil yang menjadi banal karena menipisnya hal berpikir.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah, bahkan jika Herman Broch benar tentang adanya ‘kesadaran temaram’ itu, tetaplah ada sisi lain dari manusia untuk berkelit dalam ‘perangkap’ ke-remang-remang-annya, melalui: berpikir. Terlebih berpikir dalam inter-subyektifitasnya. Tetapi ‘berpikir’ seperti apa yang lebih mampu mengimbangi ‘kesadaran temaram’ itu? Terlebih ketika hal tersebut (kesadaran temaram) justru yang menjadi sasaran ‘eksploitasi’-nya? Maka Tan Malaka benar ketika ia menandaskan soal materialisme-dialektika-logika, madilog. “Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan, di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya. Madilog ikut lari bersembunyi ke Bayah Banten, ikut pergi mengantarkan romusha ke Jawa tengah dan ikut menggeleng-geleng kepala memperhatikan proklamasi Republik Indonesia. Di belakang sekali ikut pula ditangkap di Surabaya bersama pengarangnya, berhubung dengan gara-gara Tan Malaka palsu………………bahkan hampir saja Madilog hilang.*** (19-05-2024)